"Terlambat, terlambat!" aku terus-menerus meruntuk dalam hati.
Kulirik jam tanganku yang kini menunjukkan pukul sebelas kurang tiga
menit. Kalau mengingat waktu janjianku bersama teman-temanku adalah
pukul sebelas tepat, sudah dipastikan kalau aku pasti terlambat.
Aku
menyeka keringat yang mengalir di dahiku. Ah, rasanya matahari hari ini
terlalu bersemangat memancarkan sinarnya. Bahkan akupun yang berada di
dalam angkutan kota pun —setidaknya aku bersyukur aku tidak tergolong
dalam golongan orang-orang yang berada di luar sana yang sedang
melakukan berbagai kegiatan: berdagang, menunggu seseorang, menunggu
angkutan, atau yang paling menyedihkan; mengemis— merasakan teriknya
sang surya.
Kalau begini barulah ibukota Jakarta menampilkan
wujudnya yang sesungguhnya: penat. Ironis memang, di saat para pejabat
kaya sedang bersenang-senang dengan uang rakyat, kenyataanya rakyatnya
justru menderita lahir-batin.
Karena inilah sesungguhnya realitas
kota Jakarta yang tersembunyi di balik megahnya bayang-bayang gedung
pencakar langit yang begitu mewah. Di balik segala keindahan yang
absurd, ada segelintir —tidak, dominan dalam hal ini— orang-orang yang
harus bekerja keras mencari nafkah demi mendapatkan sesuap nasi. Mereka
yang sesungguhnya layak mendapatkan kehidupan lebih baik, tapi nyatanya
justru harus menanggung beratnya beban kehidupan sendiri. Tanpa saudara.
Tanpa ada sesorang yang dapat berbagi segala keluh-kesah dengan mereka.
Hatiku
terasa teriris memikirkan bagaimana mereka hidup. Tanpa adanya rumah
tempat mereka berlindung dari segala tempaan cuaca, aku tak dapat
membayangkannya, sungguh.
Rumah. Rasanya kata itu terasa begitu
familiar di telinga kita semua. Rumah tempat kita berbagi, rumah tempat
kita melepaskan segala penat, rumah tempat kita berteduh. Ah,
mengingatnya membuatku merasa sangat bersyukur.
"Ka…, minta uang
untuk beli susu adik saya, Ka…" aku tersentak begitu seorang bocah cilik
berpakaian lusuh mendekati angkutan kota yang kutampangi ini. Wajahnya
hitam dan kotor, khas para pengemis yang setiap hari harus berpaparan
langsung dengan sinar matahari. Rambutnya memerah dan kusam,
mengingatkanku pada anak-anak kurang gizi yang sesekali ditampilkan
beritanya di televisi.
Aku masih termenung memandangi anak itu
ketika supir angkot yang tampaknya sedang kesal itu memaki si anak
dengan kata-kata kasar, "Heh, Gembel! Pergi sana!"
Aku terkejut
mendengar sang supir mengeluarkan kata-kata itu. Demi Tuhan, anak itu
hanya sekitar delapan tahun! Bagaimana mungkin sang supir dapat
mengeluarkan makian seperti itu padanya? Ia bahkan tidak melakukan
apa-apa, ia hanya meminta! Salahkah kalau nasibnya mengharuskannya
menjadi seorang pengemis cilik? Salahkah kalau ia hanya dapat meminta di
usianya yang masih sangat belia, ketika anak-anak lain yang seumuran
dengannya justru sedang bermain dengan segala barang mewah?
Aku
baru saja mau menegur sang supir ketika seorang ibu di sebelahku justru
membela sang supir. "Iya! Pergi sana! Udah panas, minta-minta lagi!
Hush, hush!"
Astagfirullah, aku beristigfar dalam hati. Ibu-ibu
ini… ugh. Aku baru saja berpikir ia akan memberi anak itu uang, melihat
penampilannya yang memang terlihat begitu mewah. Tangannya memegang
sebuah tas bermerk yang kuketahui harganya mahal. Cincinnya pun terlihat
mahal dengan sebuah batu safir hijau yang memang sangat indah. Lantas
aku benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin ibu-ibu yang
penampilannya sedemikian mentereng ini enggan memberikan selembar uang
seribuan pada seorang pengemis cilik?
Aku mendengus kencang,
berharap mereka sedikit saja tersinggung. Kurogoh saku-ku dan
kukeluarkan uang dua ribuan milikku, berniat memberikannya pada si
pengemis.
"Mau ngapain, Dik?" seorang bapak di hadapanku memandangku heran. Aku balas menatap matanya yang menyiratkan rasa bingung.
"Mau ngasih ke adik ini." balasku singkat. Orang-orang di dalam angkot memandangku kesal.
"Buat apa?" seorang mahasiswa di bangku pojok bertanya dengan nada meremehkan.
Aku
balas menatap matanya dengan defensif. "Ya untuk adik ini. Buat beli
susu adiknya." balasku mulai kesal. Kutatap pengemis cilik itu. Tanganku
terulur untuk memberikan uang itu ketika tiba-tiba angkutan kota itu
melesat dengan cepatnya.
Ah. Ternyata sudah lampu hijau.
"Pak,
kenapa langsung jalan, sih? Kasihan tahu anak itu, saya belum sempat
memberinya uang!" omelku kesal pada sang supir angkot yang anehnya
justru terkekeh geli.
"Mbak, yang kayak begitu jangan dikasih!
Mereka itu malas, dan asal mbak tahu, di pojok-pojok jalan raya, ada
para preman yang nantinya menjadi tempat setoran anak-anak gembel itu."
supir angkot itu masih terkekeh. Aku termenung.
Aku tahu, aku
sering menyaksikan berita di televisi yang mengatakan kalau ada dalang
di balik setiap anak jalanan. Tapi aku sendiri memutuskan tidak ambil
pusing terhadap hal itu. Bagaimanapun niatku hanya membantu. Mereka
mungkin akan dipukuli kalau tidak dapat memenuhi keinginan sang preman.
Dan membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri.
Aku baru saja
akan membalas argumen itu ketika handphone bergetar, menandakan adanya
sms masuk yang berbunyi: "Nic, kamu di mana? Kita udah hampir mateng nih
nungguin kamu! Lihat sekarang jam berapa!"
Aku membeku. Kulirik arloji biru-ku. Oh, pukul setengah dua belas —HEI! Artinya aku telat tiga puluh menit!
"Pak,
ngebut dong!" oow. Dasar manusia. Pada akhirnya, manusia akan
mendahulukan kepentingannya dan melupakan kepentingan orang lain…
seperti aku.
xXx
"Empat puluh
tujuh menit tiga puluh sembilan detik…" sapaan bernada muram dari Arjuna
menyambutku. Alisnya melengkung, bertemu di satu titik. Wajahnya yang
putih memerah —aku tidak tahu memerah karena kesal, atau karena
tersengat terik matahari.
Maya yang berada di sebelahnya mendengus
kesal, melirikku dengan tatapan menyindir. "Namanya juga Monica! Kalau
dia ontime, artinya dunia udah mau kiamat!" katanya sarkasme.
Aku
baru saja mau membela diri ketika Cahaya membelaku, "Udah deh… salah
kita juga ngasih tahu Monica kalau janjiannya jam sebelas! Kalau mau
ngasih tahu dia, ya harusnya sejam sebelum waktu janjian kita! Jadi,
Tyo, harusnya kamu ngasih tahu Monica kalau janjiannya jam sepuluh! Baru
deh dia dateng jam sebelas!" uuh. Kukira Cahaya benar-benar membelaku,
ternyata menyindir juga!
"Padahal dia yang ngusulin kalau liburan kali ini kita pergi berburu buku, tapi malah dia yang ngaret…" Tyo ikut-ikutan.
Aku
tersenyum masam menanggapi mereka. "Iya, iya… maaf deh. Udah yuk,
langsung jalan. Nanti tambah panas nih…" kataku tidak enak.
Lagipula,
tidak enak juga berlama-lama di sini. Warung es kelapa ini memang sudah
lama menjadi tempat ngumpul kami, tapi bagaimanapun kami masih tahu
malu.
"Omong-omong," suara Maya terdengar bingung, "yakin nih mau
nyari buku di Pasar Senen? Di situ 'kan kumuh, enggak banget deh…" Maya
merajuk. Aku menghela napas. Sifat manja Maya keluar.
Arjuna
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Please, deh, Maya, hari gini masih
mentingin gengsi? Di senen emang kumuh, tapi kamu harus tahu, kita bisa
menghemat biaya pengeluaran sampai enam puluh persen, you know?" katanya
sok bule. Aku tersenyum geli. Di antara kami memang Arjuna yang paling
irit. Ups, ralat. Bukan irit, tapi pelit.
Aku mengangguk
menyetujui argumen Arjuna. "Iya, Maya. Hari gini masih mikirin gengsi
tuh rugi!" kataku sok menggurui. Yang lain ikut mengangguk menyetujuiku.
Maya merengut kesal, "Iya deh, iya!"
Dan dengan kalimat itu, kami melesat menuju Pasar Senen.
xXx
"Tadi
aku lihat ada pengemis cilik di lampu merah, begitu mau aku kasih uang,
supir angkotnya langsung jalan…" aku membuka percakapan ketika kami
semua berada dalam busway.
Arjuna terseyum mengejek, "Please deh,
Nic. Mereka tuh biasanya bohong! Paling juga sebenarnya mereka tuh
anak-anak mampu yang disuruh kerja sama orang tuanya!"
Aku menggeleng lemah. "Tapi 'kan kasihan…"
Arjuna
berkata lagi, "Jangan naif, Nic. Kita harus lihat kenyataan, kalau
sebenarnya memang itulah yang terjadi. Kamu nggak bisa selamanya
berargumen 'sebenarnya semua orang baik, cuma mereka enggak tahu cara
mengekspresikannya'. Itu pemikiran tanpa esensi yang naif."
Aku
menatap Arjuna dengan kesal, tak mau kalah. "Tapi biar bagaimanapun,
mereka juga manusia. Kita gak bisa tutup mata tutup telinga kalau lihat
ada orang kesusahan di depan mata, 'kan?" balasku. Oke, sedikit-banyak
yang dikatakan Arjuna benar –pemikiranku mungkin memang terlalu naif.
Tapi… tanpa esensi, dia bilang? Aku jelas tidak terima.
"Kita
emang gak bisa tutup mata tutup telinga, tapi itupun kalau memang orang
itu benar-benar butuh bantuan. Kamu 'kan enggak tahu kalau mungkin saja
sebenarnya para pengemis itu lebih kaya dari kita. Bisa aja mereka
menjadikan mengemis semacam… pekerjaan?" Arjuna memulai lagi.
Aku
mendengus kesal, merenungi perkataan Arjuna. Ya, ya… aku sadar benar
bahwa apa yang dikatakan Arjuna sangat logis. Harus kuakui, cara pikir
Arjuna yang selalu memandang sesuatu dari segi rasionalitas patut
diacungi jempol. Berbeda denganku yang mungkin dipengaruhi perasaan
seorang wanita, aku lebih berpihak pada perasaanku ketimbang logika. Ya,
khas wanita.
Tapi lagi-lagi harga diriku menolak untuk menyerah
dan menyetujui perkataan Arjuna. Mulutku baru saja terbuka untuk
membalas ketika Arjuna kembali menginterupsiku, "Dan jangan lupa.
Pemerintah sudah mengeluarkan undang-undang yang melarang siapapun
memberikan apapun kepada para pengemis, pengamen, bahkan pengelap kaca
mobil. Perlu aku bacain isinya?" katanya angkuh.
Ah, berpikir
secara rasional agaknya membuat Arjuna melupakan satu hal yang jauh
lebih penting: rasa kemanusiaan. Dan aku sudah terlalu malas untuk adu
argumen lebih lanjut dengannya.
"Pemberhentian selanjutnya… Pasar
Senen." suara dari speaker menyadarkan kami untuk segera bersiap turun.
Dengan seksama, kami pun melangkah keluar busway.
"Ah, perut Maya lapar!" Maya merajuk. Tangannya memegangi perutnya.
Aku
tersenyum kecil. "Makan dulu, yuk! Maya kalau lagi lapar seram lho…"
gurauku. Mereka tersenyum kecil. Kulirik arlojiku, pukul satu. Memang
benar-benar jam makan siang.
"Shalat dulu, baru makan." Tyo
memberi komentar. Cahaya mengangguk. Kalau soal agama, Tyo dan Cahaya
memang paling tidak bisa diganggu gugat.
Begitu memasuki areal
mushala di Senen, seorang pengemis cilik menghampiri kami. Melihat
penampilannya, tanpa perintah otakku segera memberi sinyal untuk
membandingkan penampilannya dengan pengemis yang kutemui di jalan tadi.
Mereka sama-sama terlihat… kurang makan-makanan bergizi.
"Ingat
Nic, jangan dikasih." Arjuna mengingatkanku ketika tanganku mulai
menggerilya saku-ku, mencari satu-dua lembar uang seribuan.
"Kenapa
sih? Mau berbuat baik kok dihalangin…" kataku kesal. Dalam hati aku
meruntuk. Tadi orang-orang dalam angkot, sekarang temanku sendiri! Ada
apa sih dengan mereka semua? Apa mereka tidak punya rasa iba pada
anak-anak kurang beruntung ini?
Bukan salah mereka kalau mereka
tidak beruntung, kan? Lagipula siapa sih yang mau memilih dilahirkan
dalam keluarga yang kurang mampu?
"Mbak, saya lapar…" katanya lirih. Matanya mengiba, membuatku dengan cepat segera merasa simpati padanya.
Di belakangku, seorang bapak berteriak. "Jangan dikasih, Dek! Uangnya bukan buat mereka, tapi buat orang tua mereka!"
Duh, godaan. Mau tidak mau otakku merapuhkan tekadku. Aku menghela napas panjang, berusaha memikirkan yang terbaik.
"Ya
udah, Mbak, gak apa-apa." Sekali lagi lirih suaranya membuatku ingin
sekali memberikan uang ini. Tapi mencoba berpikir secara rasional
nyatanya membuatku kehilangan rasa kemanusiannku. Tubuhku tak bergerak,
tak mengejarnya dan mataku hanya terpaku manatap punggung bocah cilik
yang semakin menjauhiku itu.
Begitu punggungnya tak lagi terjangkau dengan sudut pandang mataku, suara Tyo mengagetkanku.
"Sudah pukul satu lewat lima belas, nih. Ayo shalat." katanya pelan. Yang lain mengikutinya menuju mushala sederhana itu.
"Aku
tunggu di sini saja, ya… Aku lagi haid." kataku jujur. Mereka
mengangguk. Begitu mereka memasuki mushala, aku segera mengistirahatkan
tubuhku dengan kursi kayu lapuk yang berada di dekat situ.
Menunggu
memang bukan kegemaranku. Sejujurnya, aku bahkan punya prinsip lebih
baik terlambat daripada menunggu. Yah, sangat-sangat subyektif memang.
Tapi kebanyakan orang memang menilai kalau cara berpikirku memang unik
dan berbeda dari kebanyakan orang.
Duduk dan berdiam membuat
pikiranku menjadi melayang. Aku kembali mengingat pengemis cilik tadi.
Menyesal rasanya lebih mendengarkan omongan orang ketimbang kata hatiku
sendiri. Walau bagaimanapun, harusnya aku membantu mereka, bukan
bersikap acuh layaknya para pemimpin negara yang berpura-pura bersikap
peduli pada rakyatnya tapi pada kenyataannya sama sekali tidak
bertindak.
Padahal aku benci orang-orang yang henya bisa
mengatakan sesuatu di mulut, bukan melakukan dengan tindakkan. Tapi
kenyataannya, aku baru saja menjadi seperti itu. Aku bahkan melupakan
fakta kalau bahwa selama ini aku selalu berprinsip hidup bukan untuk
diri sendiri.
Oh, Tuhan… aku merasa sangat berdosa. Bagaimana
mungkin aku melupakan segala pandangan hidup yang selama ini kuanut?
Bagaimana mungkin aku melupakan ajaran orang tuaku, bahwa aku harus
selalu berbagi terhadap seksama? Bagaimana mungkin… bagaimana mungkin…
"Hoy!
Ngelamun!" suaru cempreng Cahaya mengejutkanku. Huh, ternyata aku
terlalu asyik tenggelam dalam pertentangan batinku. Setelah konflik ide
antara aku dan Arjuna tadi berlangsung, dengan bodohnya aku membiarkan
diriku terjadi pertentangan batin. Dasar, membuatku lelah saja.
Mereka semua ternyata sudah selesai shalat. Karena itu kami memutuskan untuk makan dulu, baru hunting buku. Apalagi aku memiliki penyakit maag, jadi mereka memaksa untuk makan dulu.
Baru
beberapa langkah dari mushala, aku melihat segerombolan orang
berkerumun di salah satu sudut pertokoan. Yang pria tampak beringas dan
berteriak sesuatu seperti, "Hajar terus!" atau, "Jangan diampuni!",
sedangkan yang wanita kebanyakan menutup mulut sambil menangis.
Aku mengernyitkan kening. Ada apa, ya? Kenapa firasatku sedemikian buruk?
Kulangkahkan
kakiku menuju kerumunan orang itu ketika tangan teman-temanku
menahanku. "Mau ke mana kamu?" mereka melihatku dengan pandangan curiga.
Aku menunjuk kerumunan orang itu. "Aku mau lihat—"
Belum
sempat aku menyelesaikan kalimatku, Tyo mengintrupsiku dengan gemas.
"Gila kamu! Itu paling orang pasar yang berantem! Kalau kamu kena
sasaran gimana?" katanya emosi. "Kalau mau ngelakuin hal tuh pikir
panjang dulu, Nic!"
Aku mendengus sebal. "Biarin kenapa sih!
Kalian tunggu di sini saja kalau takut!" kataku keras kepala. Aku memang
sangat lemah dalam urusan mengontrol emosi dan rasa penasaranku.
Mereka
geleng-geleng kepala melihat kekeras kepalaanku. Mereka mengerti kalau
aku tak akan bisa dicegah kalau sudah ingin melakukan sesuatu, jadi
dengan enggan, mereka akhirnya mau menemaniku melihat apa yang terjadi,
dengan syarat kalau keadaan gawat kami harus segera lari.
Dengan
takut-takut –tentu saja aku pengecualian dalam hal ini— kami mendekati
kerumunan itu untuk memeriksa apa yang terjadi. Mungkin saja beritanya
cukup heboh untuk dimuat di majalah sekolah, ekskul tempatku bernaung.
Sayangnya,
kerumunan orang itu terlalu ramai untuk diterobos, jadi kuputaskan
untuk bertanya pada seorang ibu yang kelihatannya shock sekali melihat
kejadian itu.
"Ada apa, Bu?" tanyaku pelan. Ibu itu malah menangis begitu kutanya.
"A-ada anak kecil… mencuri… dipukuli…" katanya terbata. Suaranya bergetar, membuatku tidak dapat mendengarnya dengan jelas.
Anak kecil. Mencuri. Dipukuli.
Otakku mulai bekerja mencerna informasi tersebut. Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Mungkinkah… anak itu… pengemis yang tadi?
Astagfirullah, jangan, Tuhan, jangan… Aku berdoa dalam hati.
Mengandalkan
kekuatan tekadku, kuterobos kerumunan orang itu, berusaha melihat anak
malang mana yang harus mendapat penghakiman massal seperti ini.
Kuhiraukan teriakan teman-temanku yang melarangku masuk.
Kali ini saja, biarkan kekuatan tekadku menang.
Langkahku terhenti ketika akhirnya aku dapat melihat sesosok tubuh kurus tak berdaya yang kini berlumuran darah itu.
Rambut hitam kemerahan itu… Mata bulat itu… Kulit kehitaman itu…
Aku
tak mampu lagi bersuara. Rasanya ada yang menganjal tenggorokkanku dan
dengan paksa menarik pita suaraku, membuatku hanya dapat tergagap tak
percaya; antara ngeri melihat darah yang menetes-netes dari anak itu dan
rasa bersalah yang dengan cepat menyergapku.
Itu dia… yang terbaring tak berdaya itu dia… pengemis cilik tadi.
Mulutku
terbuka, hendak meneriakkan kata-kata, "BERHENTI!" pada para pria yang
masih memukuli anak itu, tapi aku tak mampu mengeluarkan kata-kata
apapun. Oh, bahkan saat ini, aku tidak pingsan pun merupakan keajaiban.
Aku terus menerus menangis memandang wajah lebam anak itu, aku ingin sekali menghentikan ini… tapi tidak bisa.
"BERHENTI!
CUKUP!" sebuah suara lantang mengejutkanku. Itu suara Arjuna dan Tyo,
aku kenal benar suara mereka. "ADA POLISI! STOP!" suara mereka bergema
lagi.
Dalam hitungan detik, pada pria yang memukuli anak itu
kocar-kacir ke segala arah, meninggalkan sesosok tubuh anak kecil yang
kini sedang berjuang melawan maut.
Aku gelagapan, tangisku makin
kencang melihat anak itu kini memandangku. Aku takut darah… aku takut
darah… aku tidak bisa menghampiri anak itu.
Tapi aku merasa
berdosa… sangat. Kupaksakan kakiku melangkah menghampiri anak itu. Aku
masih mendengar suara Cahaya terdengar panik ketika meneriakkan,
"Panggil ambulance!"
"Maaf…" suaraku bahkan terdengar aneh di
telingaku sendiri. "Maaf… maaf… maaf." aku mengulanginya berkali-kali,
walau sejujurnya tak tah pada siapa dan untuk apa aku mengucapkan
kata-kata itu.
Entah keberanian darimana, kukeluarkan sapu tangan
kesayanganku dan kutekan luka sobek di dahi anak itu. Pendarahannya
cukup banyak, dan sebagai salah satu anak Palang Merah Remaja di
sekolah, ini saatnya untuk menerapkan kemampuanku untuk menolong orang.
Anak
itu mengernyit kesakitan, tapi sudut-sudut bibirnya yang sobek
membentuk sebuah… senyum? Untuk apa? Untuk keegoisan dan kebodohanku
yang lebih memikirkan kata-kata orang lain ketimbang perasaanku? Untuk
membuatnya menjadi babak belur seperti ini!
"Kenapa… mencuri…"
omonganku mulai tak karuan. Aku bermaksud menanyakannya agar ia tak
kehilangan kesadaran, karena akan semakin gawat kalau hal itu terjadi.
Anak
itu masih tersenyum, mungkin sedikit bingung apa maksud dari
kata-kataku. Aku bermaksud mengatakan, "Kenapa kau mencuri, Dik?" tapi
yang keluar hanya gumaman-gumaman tak jelas yang bahkan teredam
tangisku.
"Aku lapar… tidak ada uang…" katanya parau.
Hatiku
serasa ditusuk samurai mendengarnya. Kalau saja tadi aku memberinya
uang, mungkin tidak akan seperti ini… Kalau saja tadi aku menuruti kata
hatiku, pastilah anak ini masih baik-baik saja… Kalau saja…
"Kakak baik…" katanya lirih, nyaris tak terdengar olehku. "Aku tahu kakak baik… aku lihat dari mata kakak…"
Tangisku
semakin kencang mendengar kata-katanya. Setelah semua kejadian ini, ia
masih menganggapku baik? Setelah semua yang kulakukan… ia masih
menganggapku baik?
"Kakak cengeng…" katanya lagi. Senyum di bibirnya semakin lebar, dan sedetik kemudian ia kembali meringis.
Aku tercekat. Bagaimana mungkin… bagaimana mungkin anak ini…
"Kalau
aku mati, aku akan minta sama Tuhan supaya kalau aku lahir lagi, aku
punya kakak kayak kakak!" katanya polos. Matanya layu, dan tampaknya
anak itu sudah tidak kuat lagi.
Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Aku benar-benar merasa berdosa…
Mata
anak itu sedikit demi sedikit tertutup, seiring dengan pandanganku yang
tiba-tiba juga megabur. Dan yang terakhir kudengar adalah teriakan
teman-teman memanggil namaku.
xXx
Aku membuka mataku perlahan, dan terkejut begitu menyadari bahwa yang pertama kulihat adalah wajah ibuku.
"Aku
di mana?" heh, dulu aku sering mengejek para pemain sinetron yang
bangun-bangun selalu mengucapkan 'aku di mana', tapi kenyataannya
sekarang aku melakukannya.
Ibuku tersenyum dan memelukku. "Kamu di
rumah sakit…" katanya lembut. Tangannya membelai rambutku dengan
lembut. "Kamu pingsan tadi."
"Tadi?" aku mengingat-ingat kejadian sebelum pingsan. Darah… kata-kata polos… senyum… anak kecil…
Tunggu. Anak kecil.
"Di mana anak itu, Bu?" kataku tak sabar. Jangan-jangan anak itu…
Ibuku
tersenyum lembut sekali lagi. "Dia di ruang ICU. Tapi dia selamat. Kata
dokter, untuk pertolongan pertama yang kamu berikan tepat, jadi
nyawanya masih selamat." raut wajahnya berbinar. "Ibu bangga sama kamu."
Aku tersenyum masam. Setidaknya… aku masih bisa menebus kesalahanku.
"Bu?" tanyaku takut-takut. Sebuah ide gila terlintas begitu saja di benakku.
"Kenapa, sayang?" tanyanya lembut. Tangannya sibuk membereskan barang-barangku.
"Kalau kita… angkat anak itu gimana?" tanyaku takut-takut. Terdengar gila memang, tapi kurasa ideku tidak buruk.
Ibu
menghentikan aktivitasnya. Matanya menatap mataku dengan teduh. "Nggak
bisa, sayang… Kamu punya adik, dan kamu tahu ayah dan ibu sama-sama
kerja. Kita justru akan dosa kalau kita mengangkatnya menjadi keluarga
kita tapi kita tidak mengurusnya…" jelasnya sabar.
Aku mengangguk mengerti. Tapi…
"Ah.
Tapi ibu punya kenalan sebuah panti asuhan. Kalau anak itu masuk ke
sana, kamu tetap bisa bertemu anak itu kapanpun kamu mau, kan?"
penjelasan ibu membuatku tertegun.
"Benar, Bu?"
"Ya."
Alhamdulillah, Alhamdulillah… aku mengucap syukur dalam hati. Terima kasih Allah, aku tahu engkau selalu memberi jalan terbaik…
-Tamat-